## Di Balik Panggung Kejayaan BTS: Sebuah Perjalanan Menuju Puncak Dunia Musik
Buku “____” (masukkan judul buku jika tersedia) karya Kang Myeongseok memberikan gambaran mendalam dan personal tentang perjalanan luar biasa boyband global, BTS. Lebih dari sekadar kumpulan wawancara dan kronologi keberhasilan, buku ini mengupas proses kreatif, perjuangan gigih, dan dinamika internal grup yang telah mengantarkan tujuh pemuda Korea ini menaklukkan industri musik Amerika dan dunia. Kata-kata Myeongseok setelah penampilan spektakuler BTS di Grammy Awards 2022 untuk lagu “Butter” merangkum esensi buku ini: “Jika Tuhan memang ada, jelas BTS diberkahi di atas panggung – atau lebih tepatnya, melalui tekad dan usaha, mereka telah terbang setinggi mungkin dan menyentuh wajah ilahi.”
Penampilan “Butter” di Grammy, yang memadukan elemen teater Broadway dengan adegan pencurian ala film “Mission Impossible”, menjadi sorotan. Dengan Jin, yang kala itu masih dalam pemulihan pasca operasi jari, bertugas memantau dari meja monitor, sementara enam anggota lainnya bergerak lincah menghindari laser, pergerakan mereka yang sinkron dan memukau terasa hampir tak percaya. Apalagi mengingat persiapan yang hanya sehari sebelum penampilan! (Saksikan penampilan epik tersebut di sini: [https://www.youtube.com/watch?v=HbkBVxU5K5A](https://www.youtube.com/watch?v=HbkBVxU5K5A))
Myeongseok, penulis buku ini, berhasil menangkap inti percakapannya dengan para anggota BTS, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Meskipun terdapat beberapa kesalahan tata bahasa dan ejaan – wajar mengingat sifat “living document” dan proses penulisan yang mungkin terburu-buru akibat perkembangan pesat karier BTS, terutama selama dan pasca pandemi – buku ini tetap menyajikan gambaran yang kaya dan menarik. Penulisan yang terasa sedikit loncat di beberapa bagian justru menambah kesan autentik dan mencerminkan dinamika cepat perubahan yang dialami BTS.
Buku ini tidak sekadar memaparkan fakta, melainkan juga menghadirkan perspektif subjektif Myeongseok. Di awal bab, pengamatannya yang jeli terhadap bahasa tubuh dan ekspresi wajah para anggota BTS menambah dimensi emosional pada cerita. Contohnya, deskripsi Suga yang biasanya tenang, tiba-tiba terdengar emosional saat menceritakan usaha gigihnya menulis 300 pesan tangan untuk ARMY sebagai bentuk terima kasih – sebuah momen yang menyentuh dan memperlihatkan sisi personal para anggota. Walaupun di bagian tengah buku lebih berfokus pada transkrip percakapan, bab terakhir kembali menampilkan sentuhan personal penulis yang bersemangat menceritakan kesuksesan BTS sebagai “Artist of the Year” di American Music Awards dan penampilan Grammy mereka, yang menurutnya merupakan momen monumental dalam sejarah musik dunia – bagaimana tujuh anak muda Korea mampu mendominasi pasar musik Amerika, sebuah pencapaian yang sarat makna politis dan sosial.
Kesuksesan tersebut, tentu saja, tidak diraih dengan mudah. Buku ini mengungkapkan perjuangan panjang, penuh keringat dan air mata – sebuah perjalanan “Blood, Sweat, and Tears” selama 10 tahun. Kita diajak menyelami keputusasaan Suga yang sempat mempertanyakan keberadaan Tuhan di tengah hujatan haters dan minimnya apresiasi, hingga kata-kata bijak V yang merangkum kegigihan BTS: kelangsungan hidup mereka hingga saat ini bergantung pada kepercayaan penuh ARMY.
Pertanyaan umum yang sering muncul: apa yang membuat ARMY begitu setia pada BTS? Jawabannya terurai dalam buku ini. Salah satu kunci utamanya adalah sikap BTS yang selalu mendengarkan ARMY. Setiap album mereka dikemas dengan storytelling yang koheren, menciptakan sebuah narasi utuh dari intro hingga outro, dan membentuk sebuah trilogi yang saling berkaitan. Trilogi pertama menceritakan perjuangan mereka dari nol di Big Hit Entertainment, sebuah agensi yang hampir bangkrut, hingga kehidupan mereka yang serba terbatas: tidur berhimpitan di satu kamar, latihan tari di ruang yang lembab, dan rekaman di garasi. Mereka juga menggambarkan bagaimana mereka merasa terisolasi dalam industri K-Pop karena minimnya koneksi atau “yongo” – sebuah tantangan bagi ketujuh trainee yang baru memulai karir mereka.
Trilogi kedua melebarkan cakrawala cerita, tidak hanya fokus pada dinamika internal grup, tetapi juga meliputi kehidupan anak muda di sekitar mereka, khususnya ARMY, dan bagaimana mereka menghadapi berbagai perubahan mental. Di trilogi ini, BTS menjadi representasi anak muda yang berjuang melawan tekanan sosial, berjuang untuk didengar, dan sekadar untuk “ada”.
BTS secara konsisten membangun hubungan personal dengan ARMY melalui lirik lagu, siaran langsung, dan video. Setiap penghargaan yang mereka raih, ARMY selalu menjadi yang pertama disebut, bahkan sebelum Bang PD dan Big Hit. Strategi storytelling dalam setiap lirik dan album, dipadu dengan strategi marketing dan promosi yang tidak konvensional, menjadi kunci sukses mereka. Pada trilogi pertama, BTS membangun ekosistem marketing dan komunikasi mereka sendiri karena minimnya eksposur di media mainstream. Mereka menciptakan “Run BTS!”, V-Live (kini Weverse Live), dan vlog personal seperti “EatJin” oleh Jin dan vlog latihan tari oleh J-Hope. Mereka memanfaatkan sepenuhnya media sosial untuk mendekatkan diri dengan ARMY dan mempromosikan musik mereka.
Buku ini juga menyoroti respon BTS terhadap kritikan terhadap trilogi pertama, yang dianggap kurang sensitif gender. BTS mengakui hal ini (RM bahkan meminta maaf dalam sebuah wawancara), dan Hybe, agensi mereka, menetapkan pelatihan sensitivitas gender bagi semua idol sebelum debut – sebuah langkah progresif yang patut diapresiasi.
Peran Bang Si-Hyuk (Bang PD), produser BTS, juga mendapat sorotan. Kepercayaan penuh yang diberikannya pada kreativitas BTS – memberikan kebebasan kepada mereka untuk menciptakan karya mereka sendiri, dari lirik hingga musik video, dengan pesan sederhana agar mereka “sincere” atau tulus – merupakan kunci keberhasilan mereka. Meskipun Big Hit telah berkembang menjadi Hybe Corporation, sebuah perusahaan besar yang mendominasi ekosistem K-Pop, BTS tetap mempertahankan kerendahan hati mereka.
Buku ini juga mengungkap bagaimana kesuksesan yang luar biasa ini justru menjadi beban bagi para anggota, membuat mereka mempertanyakan apakah mereka pantas mendapatkannya. Dari mimpi awal debut hingga mendapatkan penghargaan bergengsi secara berturut-turut, tekanan untuk tampil sempurna mendera mereka. Namun, di akhir buku, J-Hope memberikan penutup yang menyentuh: tujuan mereka untuk tampil sempurna kini hanya demi ARMY, bukan lagi untuk piala atau penghargaan. Kebahagiaan ARMY adalah kebahagiaan utama bagi BTS.
Bagian akhir buku ini memberikan dampak pribadi yang mendalam bagi penulis ulasan ini. Pernyataan J-Hope tentang BTS sebagai “keluarga” menguatkan analisis penulis tentang BTS dalam konteks pemikiran Konfusianisme.
Secara keseluruhan, buku ini bukan hanya untuk ARMY yang ingin bernostalgia, tetapi juga untuk siapa pun yang tertarik dengan pengembangan bisnis, pentingnya storytelling, dan kepemimpinan yang efektif, seperti yang ditunjukkan oleh Bang PD dalam membina BTS. Buku ini menawarkan pelajaran berharga tentang kerja keras, kreativitas, dan pentingnya membangun koneksi otentik dengan audiens.